“Selamat
pagi!”
“Selamat
pagi, Pak!”
“Bagus
juga semangat kalian pagi ini. Sudah siap bercerita?”
Mendengar
pertanyaan itu, Abdul seketika berteriak, “Titis siap cerita, Pak!”
“Titis,
mana anaknya? Silahkan maju.”
Baiklah,
aku harus membacakan cerita yang telah kususun semalam. Tanpa basa-basi, aku
segera maju dan membaca
karya
fiksi singkatku, agar segera terbebas dari perasaan tegang menunggu giliran.
Setelah usai, aku segera kembali ke bangkuku.
“Mas,
tunjuk satu orang untuk maju ke depan.”
“Abdul,
Pak. Si pembunuh bangke.”
Kelas
dipenuhi gelak tawa singkat, disertai sorakan yang membuat kelas sangat gaduh.
Abdul pun menceritakan pengalaman pribadinya mengenai hak seseorang untuk
merokok, dan hak orang lain untuk menghirup udara segar. Ya, Abdul memang
seorang perokok, namun dia tak pernah mengganggu orang yang intoleran terhadap
asap rokok.
Cerita
demi cerita telah usai disampaikan, kelas ini berakhir. Aku memutuskan untuk on bid karena kelas selanjutnya masih
empat jam lagi. Dan benar saja, satu order
masuk untuk pesan antar makanan.
“Halo,
dengan Mbak Rani? Saya Robertus, yang terima orderan food-nya Mbak.”
“Iya
betul, ada apa Mas?”
“Saya
mau konfirmasi, pesanannya 1 porsi pecel tambah lauk telur dadar ya, Mbak?”
“Iya
Mas, sesuai aplikasi. Saya bayar cashless
ya Mas, nggak usah dianter. Buat sarapan Mas aja.”
“Wah!
Serius, Mbak? Terima kasih banyak, Mbak. Semoga kebaikannya dibalas berlipat
ganda.”
“Sama-sama,
Mas, semoga sarapan paginya enak.”
Percakapan
kuakhiri, dan aku segera menuju warung pecel yang dimaksud oleh Mbak Rani.
“Titis,
lama nggak ambil order ke sini kamu.”
“Iya
Mas, aku sering ambil deket kos aja soalnya.”
“Mau
makan apa dapet order?”
”Dapet
order, Mas, tapi aku yang disuruh
makan. Ini, Mas.”
Lalu
aku menunjukkan aplikasi driver-ku,
dan Mas Haris menyiapkannya untukku.
“Nyoh, Tis. Ekstra nasi tuh.”
“Muesti ndadak ngerepoti. Maturnuwun lho,
Mas!”
Sudah
ada seporsi nasi pecel dan telur dadar, dengan teh hangat yang selalu gratis
untuk driver ojek online. Ketika hendak menyantap
sarapanku, ada sebuah pesan masuk dari Brian.
“Tis,
posisi”
“Mas
Haris. Sini, cuk, sarapan! Tak traktir!”
“Oke!”
Kos
Brian memang sangat dekat dengan warung pecel Mas Haris, cukup berjalan kaki
saja. Tak lama kemudian, Brian datang dan langsung memesan seporsi pecel.
“Tumben
traktiran?”
“Aku
habis dapet rejeki, ada yang order ke
sini tapi aku sendiri yang disuruh makan.”
Cukup
5 menit, sarapan kami sudah habis.
“Tis,
iso nyilih motor?”
“Ha,
motormu ngopo?”
“Headlamp’e mati cuk. Shinta ngajak dolan.
Engko nek ketilang yo’opo?”
Hm,
Brian. Dia kira aku buka persewaan motor? Oh, aku lupa. Shinta, pacar Brian.
Mereka sekelas saat semester 1, dan sudah berpacaran sejak semester 2. Aku
sudah biasa jadi obat nyamuk mereka.
“Nyoh, nggo tuku headlamp. Nanti tak pasangke, tinggal pinjem kunci-kunci
ke Mas Haris.”
Mas
Haris, penjual pecel yang juga seorang biker.
Warung pecelnya selalu jadi tongkrongan para biker yang ingin sarapan sebelum sunmori (Sunday morning ride). Perkakas montir motor di rumah
sekaligus warungnya cukup lengkap, sepertinya sudah cukup untuk membuka jasa
servis motor.
“Yo wis Bri, ndang budhal kono!”
“Oke,
Mas. Sing mbayar pecelku Titis yo Mas!”
Brian
pun menunggangi kuda besiku, bergegas menuju bengkel terdekat. Karena warung
terasa sepi, Mas Haris menghampiriku dan membuka percakapan kembali.
“Tis,
pacarmu mana?”
“Halah
Mas, aku sik gini-gini aja.”
“Sik mikir mantanmu yang pas maba?”
“Yo ora, Mas. Mung aku belum nemu yang cocok.”
“Mosok? Koncomu wedok akeh lho.”
“Sakjane kenalan-kenalanku yo akeh sing menarik Mas, mung kurang yakin mergane lagek kenal.”
“Gas
terus, Tis. Pepet terus. Nek durung
kenal yo coba kenali lebih dalam ngono lho. Emang arek’e koyok opo?”
Lalu
kucari foto Lisa di aplikasi perpesanan dalam smartphone-ku, dan kutunjukkan kepada Mas Haris. Dia sedikit
tersenyum melihat foto Lisa.
“Ngopo e Mas? Ojo digebet, tak laporke Mbak
Lia lho.”
“Gak-gak Tis, duh. Takis ae, ayu lho. Rupane arek’e kalem, ramah.”
Mas
Haris memang sudah hobi memotivasi para jomblo untuk punya pacar. Termasuk
Brian, yang akhirnya berpacaran dengan Shinta. Terkadang, ketika Mbak Lia –istri
Mas Haris- juga standby di warung,
dia juga akan melakukan hal yang sama.
“Yo wis, Mas. Coba tak chat, tak jak dolan bengi
iki. Batu jos.”
Aku
pun segera mengirimkan pesan singkat kepada Lisa.
“Lis,
malem ini sibuk?”
Tak
lama kemudian, Brian datang membawa headlamp
baru untuk motornya.
“Motormu
bawa sini, Bri.”
“Terno lah.”
“Lenje iki, mang budhal rene yo mlaku ae.”,
sahut Mas Haris sambil menyiapkan perkakas montirnya.
“Hmmmm
oke, tak ambil motor sik.”
Tak
lama, Brian kembali bersama motornya.
“Emang
iso masang’e?”
“Iso Bri, santai.”
Segera
saja kubongkar wajah motor Brian untuk mengganti lampunya.
“Bri,
ngerti gak? Koncomu kasmaran iku lho.”
“Halah
Mas, paling ambek Lisa.”
“Bener
jenenge Lisa, Tis?”
”Iyo Mas, bener.”
“Titis
isin Mas, padahal wis tak takoni pas pertama ketemu Lisa.”
“Wis menego cuk, gak tak garap lho motormu
iki!”
Setelah
8 menit berselang, Brian sudah tak perlu khawatir ditilang Polisi.
“Wis beres. Selamat nge-date, cuk.”
“Pantes
dadi montir, Tis. Diajari Bapakmu?”
“Ho’oh, Bapakku kan multi talent. Mas Haris, aku pamit
sik, golek orderan neh.”, aku
beranjak dengan tak lupa membayar pecel yang dipesan Brian.
Setelah
2 jam, aku pun sudah menerima 6 order,
dan harus kembali ke kampus. Saat aku off
bid, masuk sebuah pesan dari Lisa.
“Mbb
Tis, aku kelas sampe jam 4 sore. Kenapa?”
“Aku
pengen ke Batu, temenin aku yuk!”
Kupacu
motorku menuju ke kampus, berharap tidak terlambat. Bu Yayuk tidak memberikan
toleransi keterlambatan. Jika aku terlambat, maka satu-satunya cara (illegal)
untuk membuatku tetap hadir secara administrasi adalah dengan titip absen.
Sesampainya
di kampus, aku segera mengirim pesan kepada Rudi.
“Rud,
Bu Yayuk udah masuk?”
“Belum,
Tis. Buruan sini keburu orangnya masuk. Udah telat 5 menit nih dari jadwal.”
Mengantri
untuk naik lift ke lantai 5? Tidak semudah itu, Titis (jangan kira akan ada Ferguso dalam cerita ini). Aku dengan sangat
terpaksa harus berlari mendaki tangga untuk sampai ke lantai 5. Benar saja, tak
perlu semenit untuk sampai, dan aku masuk ke ruang kelas bersama Bu Yayuk.
“Selamat
siang, untuk kuliah hari ini saya hanya akan memberikan kuis bersifat open gadget. Materi kuisnya adalah sifat
kimia karbohidrat dan turunannya.”
Aku
segera duduk mengisi bangku kosong di deretan terdepan, dan mengeluarkan pena
serta secarik loose leaf dari
ranselku. Kusiapkan juga smartphone untuk
berburu jawaban di internet, sambil sedikit berharap ada pesan dari Lisa
untukku.
“Soal
bisa dilihat di slide, waktu
pengerjaan 35 menit dari sekarang.”
Kulihat
ada pemberitahuan pesan masuk dari Lisa, dan aku memutuskan untuk membacanya
terlebih dahulu.
“Kayaknya
kalo ke Batu enggak dulu deh Tis, besok aku ada kelas pagi. Kalo mau, kita ke
kafe aja. Aku ada rekomendasi 1 kafe baru nih, outdoor, instagrammable juga. Aku bisa pesenin tempat juga. Jadi anak
Pertanian pasti butuh refreshing ya?”
“Deal. Pesenin buat jam 18.30 aja. Jangan
lupa shareloc rumahmu, nanti tak jemput.”
“Nggak
usah Tis, langsung ketemu disana aja. Ini lokasinya.”
Dan
Lisa mengirimkan lokasi kafe itu kepadaku. Rupanya tak jauh dari kosku, dan aku
tak butuh banyak bensin. Baiklah, soal dari Bu Yayuk telah menungguku.
Sebanyak
4 soal telah kukerjakan semua dengan sisa waktu 7 menit.
“Bu,
saya sudah selesai.”
“Oke,
Titis. Silahkan dikumpulkan, tanda tangan absen, dan boleh meninggalkan
ruangan.”
“Baik
Bu, terima kasih.”
Aku
segera memacu kuda besiku untuk kembali ke kos. Karena aku merasa lapar dan
warung Bu Ambar masih buka, aku memutuskan untuk mampir sejenak.
“Bu,
nasi lodeh lauk telur dadar 1 ya.”
“Siap,
le, 7 ribu. Tumben jam segini kamu
mampir?”
“Iya
Bu, tadi siang belum sempat makan, trus kelasnya yang barusan cuma setengah
jam.”
“Uuuu
mesakke. Ini le pesenanmu, nasinya tak tambahi. Mesti laper banget to, habis narik?”
“Waduh
Bu, ndadak ngerepoti. Inggih Bu, saya habis narik tadi.”
“Wis gek ndeng maem, lumayan nek sempat narik lagi.”
Aku
pun segera menyantap pesanan makan siangku. Setelah 15 menit berada di warung,
aku kembali menyeberang menuju kosku. Aku harus mempersiapkan diri, sebelum
bertemu dengan sosok gadis yang... Hmm... Ya, begitulah.
“Tis,
aku berangkat sekarang.”
“Oke
Lis, bentar lagi aku berangkat.”
Tuhan,
apakah ini ilusi? Atau, nyata adanya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Monggo dikomentari, gunakan bahasa yang sopan ya ! :)