Selamat sore, guys! Sudah sekian lama tak posting karena terhalang waktu dan inspirasi, akhirnya saya dapatkan lagi waktu dan inspirasi itu. Sudah divonis bebas dari galau, saya beralih tema. Liat judulnya, pasti udah tau kan apa yang mau dibahas? Yak, berlalu-lintas! Check this out!
Ini awal mula inspirasi menulis saya muncul
. Hari ini, Senin, 9 Februari 2015, 13.51. Saya pulang sekolah bersama si manis, Yamaha Mio Sporty hitam lansiran April 2009. Rute yang saya lewati adalah SMANDA-Puskesmas Pandaan. Di musim operasi lantas yang akhirnya diadakan sering dan mendadak setelah usai Operasi Zebra Polri, saya harus melewati Prapatan Kasri, dan Pos Lantas Terminal Pandaan. Si manis dalam kondisi standar, ban depan-belakang tanpa ubahan, knalpot asli belum pernah ganti, spion ganda, dan lampu yang menyala, serta menggunakan helm SNI. Kendati saya hanya punya STNK dan plat mati (plat barunya belum dipasang), saya tetap lewat Pos Lantas Pandaan, berpikir bahwa tidak ada Polisi yang berjaga di jalanan.
Ternyata dugaan saya salah. Di jalan ke arah Malang, sudah ada 3 Polisi menertibkan pengguna jalan, 1 di separator arah Surabaya dan Malang, 1 di separator jalan dan SPBU, dan 1 lagi di pinggir SPBU. Jujur saja, saya "keder" seketika, artinya saya tidak bisa melenggang bebas di SPBU seenak tarikan gas saya. Ya sudah, saya lewat saja dengan santai. Ternyata, saya bisa lewat begitu saja. Mungkin Pak Polisi lebih memilih menertibkan pengendara motor yang melakukan ubahan tidak standar dan tidak menggunakan alat pelindung keselamatan berkendara, daripada pelanggaran administrasi yang tidak secara langsung mempengaruhi keselamatan pengendara (Dan besok, lebih baik saya pulang lewat Batumas saja :D). Toh nyatanya kalo ngurus STNK dan plat baru juga nggak segera jadi kok.
Dari pengalaman tadi, saya belajar banyak. Saya memang mau tidak mau menggunakan sepeda motor dalam aktivitas sehari-hari saya. Mengingat saya dan adik saya 1 sekolah, kenapa harus ngojek sendiri-sendiri misalnya. Sayang uangnya, kalo sehari harus keluar 10 ribu buat transportasi sekolah anak, dan orang tua saya memberikan si manis itu. Belum lagi, pekerjaan Ibu yang terkadang menuntut strategi "jemput bola", membuat saya diangkat menjadi "ojek pribadi" Ibu sebelum Bapak pulang kerja. Saya dengan sangat terpaksa, harus melanggar aturan lalin. Plat nomor mati, usia 17 tahun belum bikin SIM karena artinya saya harus ijin sekolah (kelas 12 masih mau ijin sekolah?). Mungkin saya harus terus-terusan lewat jalan tikus sampai Bapak dan saya ijin bersama untuk menguruskan SIM.
Memang, sudah 14 tahun saya tinggal di Pandaan, dan dalam kurun waktu selama itu pula saya melihat banyak pengendara kendaraan bermotor (terutama roda 2) yang "ndablek". Knalpot free flow tanpa dB killer, ban cacing tapak 60 mm, headlamp yang tinggal "batok"-nya saja, bodi yang dipreteli, pewarnaan yang tidak sesuai warna pada STNK. Menyerobot lampu merah, langsung belok merah meski ada tulisan "Belok Kiri Ikuti Isyarat Lampu". Berkendara tanpa helm, berboncengan pula. Belum lagi berboncengan tiga, kadang ada yang menggunakan 1 helm saja, kadang helmnya dipakai di depan sendiri, kadang di belakang sendiri, kadang tanpa helm sama sekali. Semacam cabe-cabean, terong-terongan, cabe diterongin, ataupun terong dicabein. Selain itu, sudah melanggar tapi masih sempat melarikan diri sambil melambaikan tangan pada Polisi. Dan itu seperti sudah membudaya dan akarnya tertanam dalam, sehingga sulit sekali untuk dirobohkan, apalagi dicabut.
Dan semenjak Operasi Zebra Polri yang berakhir 9 Desember 2014, mulailah Pandaan dibenahi. Setelah 9 Desember 2014 sekalipun, masih sering dilakukan operasi lalin, dadakan. Iya, dadakan, sehingga banyak pelanggar yang belum "siap" menghindar lewat jalan tikus, terkena tilang. Mulai dari modifikasi ekstrim dan membahayakan, kelengkapan sepeda motor yang tidak standar atau bahkan tidak ada. Bahkan siswa sekolah tempat saya menuntut ilmu pun mendapat tilang karena berboncengan hanya dengan 1 helm. (Perlu diketahui, sepeda motor yang "tidak standar" yang berada di parkiran sekolah saya akan "digembosi". Jadi kalau pergi ke sekolah pakainya motor yang "standar"). Memang, jumlah pelanggar masih tetap banyak, tapi setidaknya banyak yang mulai sadar dengan bertambahnya pengendara berboncengan dengan 2 helm melintasi Pos Lantas Terminal Pandaan.
Sebenarnya, mengurangi budaya buruk dalam berlalu-lintas di Pandaan ini memang sulit. Ya, ini soal budaya. Saking susahnya, peraturan dan hukum serta aparatnya harus ikut mengatur. Mau tidak mau, operasi lalin dadakan menjadi salah satu solusi untuk menyadarkan masyarakat, sehingga masyarakat mulai sadar akan keselamatan nyawanya saat berkendara dengan mengenakan alat pelindung keselamatan berkendara, dan menggunakan perlengkapan standar. Kalaupun mau modifikasi, harus memperhatikan pengaruhnya terhadap faktor keselamatan.
Buat yang masih ndablek: Kapokmu kapan, le? Melanggar aturan lalin di Pandaan? Pikir lagi!
Sekian tulisan dari saya, jika ada salah ketik, salah kata, maupun ada kata yang kurang berkenan saya ucapkan maaf yang sebesar-besarnya. Terima kasih karena sudah mampir, dan sampai jumpa di tulisan berikutnya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Monggo dikomentari, gunakan bahasa yang sopan ya ! :)