It's been a long day before. Lama jemari lentik ini tidak menekan tombol-tombol alfabetik yang menanti untuk menampilkan huruf, angka, dan tanda baca. Jarang menulis karena terkendala persiapan UN, persiapan SBMPTN karena gagal SNMPTN, lalu disibukkan lagi karena (Puji Tuhan) aku diterima sebagai mahasiswa Program Studi S1 Ilmu & Teknologi Pangan - Universitas Brawijaya.
Menantikan tulisanku? Tidak mungkin. Aku justru menantikan, apakah ada pribadi-pribadi yang sudi untuk sekedar menyorot tautan menuju tulisan-tulisanku ini.
Aku kembali dalam profesi berbeda dan status hubungan sama. Entah mengapa, saat ada sosok wanita yang memiliki status "In relationship with Lusio Erian Pradana Putra",
saat itu pula aku seperti memiliki dunia baru dan justru tak terabadikan dalam sesuatu yang orang sebut sebagai blog ini. Lalu, saat itu semua hilang dan aku bergelut lagi dengan kegalauanku, aku pun kembali menuju blog.
Oke, terlalu banyak basa-basi, aku hanya ingin bercerita sejenak.
Aku. Mataku menatap sesosok wanita. Berada di tempat bersuhu dingin tak membuatku menggigil, justru aku merasa hangat melihatnya. Dan dengan polos, aku mengucap sesuatu yang didengar oleh Frater yang saat itu bertugas di Parokiku "Frater, dia cantik!". Tapi lewatkan saja perjalananku melangkah maju mendekat, itu terlalu indah untuk dibagi.
Lalu, pernahkah kamu rela bangun sangat pagi untuk pergi menemui sosok yang kau cinta di Gereja? That's happened to me. 10 Mei 2015. Hanya selang 12 jam setelah dinyatakan gagal dalam SNMPTN, aku pergi. Dengan membawa Puji Syukur (ini nama buku doa dan lagu) dan tambahan sebotol air dingin berisi sebungkus coklat, aku pergi memacu Si Manis (baca: Mio Sporty 2009) sejauh belasan kilo. Seusai Misa, aku bertindak layaknya orang bodoh. Jantungku berdetak lebih kencang dari gemuruh mesin diesel tua, hanya karena ingin jujur akan perasaanku. Namun setelahnya, aku lega. Perasaan itu terbalaskan, sehingga wanita itu pun berstatus "In relationship with Lusio Erian Pradana Putra".
Kamis, 9 Juli 2015. Pengumuman SBMPTN. Melihat persiapanku yang kurang
saat tes, aku sedikit berujar pada sosok wanita tegar yang kupanggil
"Ibu". "Bu, kalaupun kakak hanya diterima di pilihan ketiga, itu sudah
mujizat dari Tuhan". Namun yang terjadi justru mujizat kuadrat. Program Studi S1 Ilmu & Teknologi Pangan - Universitas Brawijaya adalah pilihan pertamaku, dan itulah yang Tuhan berikan kepadaku. Bahagia? Ya! Itulah yang kurasakan saat itu. Bagaimana tidak, sosok anak laki-laki bodoh dan tukang kebut jalanan ini berhasil membuat dirinya diterima di salah satu PTN yang "wah" di Indonesia.
Hai, apakah saya bermimpi? Tidak. Semuanya berlangsung tanpa hambatan berarti, baik urusan akademik maupun perasaan. Layaknya balap liar di proyek jalan tol yang belum diresmikan. Dan terlihat indah, seperti panorama alam ciptaan Sang Kuasa. Dalam perjalanannya, semua terasa seperti mobil dengan suspensi halus dan mesin ribuan tenaga kuda yang melaju konstan di jalan lurus tanpa tikungan, tanjakan, maupun turunan. Semulus itu? There's something wrong.
Tuhan memberikan kita masalah untuk dihadapi, karena dibalik masalah itulah Tuhan memberi kita kekuatan lebih dari masalah yang dihadapkan pada kita. Namun mengapa semuanya berjalan layaknya tanpa ada masalah? Dan itulah masalah terbesarnya. Ini semua terasa seperti mobil yang melaju di jalan bebas hambatan dengan cruise control. Konstan. Aku pun selalu berusaha untuk mencari tanjakan, turunan, tikungan, namun rasanya semuanya tak ada dalam pandangan mataku. Bahkan untuk sekedar berpindah jalur pun tak dapat. Menghabiskan waktu dengan cara yang sama, dengan sosok yang sama.
Feeling bored? Tidak. Tapi dia? Aku mencoba mencari cara lain untuk menikmati sejenak waktuku bersamanya, itu pun adalah hal yang sulit. Mungkin aku bukan pribadi yang mengasyikkan seperti kawan-kawannya. Sosok itu bisa pergi bersama saudara dan kawan-kawannya, menuju pulau lain di Provinsi Jawa Timur. Untuk pertama kalinya, dia pergi berboncengan dengan sesosok manusia jantan tanpa ucapan "Maafkan, aku bersama pria lain", bahkan menyeberang laut. Aku juga tak mengerti apa yang dia inginkan, dan bahkan ketika aku bertanya pun tiada jawabnya. Hingga sosok wanita itu pun memilih menanggalkan status "In relationship with Lusio Erian Pradana Putra"-nya, sembari fokus menatap babak final Sekolah Menengah Atas. 17 November 2015, terima kasih untuk enam bulan yang indah.
Aku tak mau menyalahkan orang lain, aku pun tak mau menyalahkan hidup yang Tuhan berikan ini. Ini kesalahan yang dibuat oleh sosok yang kusebut sebagai "aku". Kesalahanku adalah memilih jalan itu. Andai aku memilih jalan lain sebelumya. Andai aku bisa kembali ke masa lalu. Andai Doraemon dan mesin waktunya adalah sesuatu yang nyata. Dan aku terus berandai-andai. Terlalu bodoh untuk (berhenti) menyesal (saat itu).
Remuk. Keesokan harinya begitu sangat remuk. Aku hidup bagai remah-remah panganan, yang kemudian dipatuk unggas. Aku bukanlah aku. Bahkan untuk menampilkan senyum palsu pun tak mampu. Namun aku disadarkan dengan keberadaan kawan-kawanku di kota orang, di Bumi Arema. "You're not alone", aku tersadar bahwa aku tak sendirian. Tak sadar, aku telah membuang percuma sebuah hari dalam hidupku. Aku pun tersenyum, bukan senyum penuh kepalsuan.
Rasanya seperti mobil yang rem parkirnya sudah dilepas. Aku kembali melangkah dengan melepaskan diri dari hambatan yang disebut "perasaan". Aku seperti mendapat kebebasan baru, layaknya gas buang yang berusaha keluar dari silinder mesin melalui free flow exhaust system. Kembali menjadi aku yang lincah dan penuh energi, seperti motor bergenre moped dengan mesin silinder tegak 150 cc. Namun yang terjadi, aku justru kembali tenggelam dalam perasaan. Seperti sepotong syair lagu "Akulah Arjuna yang mencari cinta". Namun yang berbeda, aku bukanlah Arjuna. Aku, Lusio.
Bagaikan pungguk merindukan bulan, tampak bagai kaca rias berukuran besar bagiku. Laki-laki bodoh, pemalas, tukang kebut, dan bintang konser kamar mandi ini seperti tidak menyadari siapa dirinya. Melompat-lompat demi menggapai bintang, namun tak sampai. Mendaki gunung demi mencapai puncaknya, namun jatuh sebelum meraih puncak, bahkan dengan tangan sekalipun. Karena aku, Lusio, bukan Shaheer Sheikh ataupun Arjuna.
Melihat kesana-kemari, aku pun kembali terpaku dalam rasa. Ada terlalu banyak sosok yang biasa disebut "wanita" yang muncul dalam kehidupanku. It's so hard to make a decision about it. Itu kembali membuat semua menjadi berantakan, bahkan untuk pendidikanku. Aku bahkan tak tahu harus berbuat apa setiap harinya. Aku hanyalah boneka, yang butuh orang lain untuk menggerakkan.
Lalu terlintas semua penyesalan atas kesalahan-kesalahan seumur hidupku. Bahkan pilihanku untuk berkuliah pun nampak sebagai sesuatu yang salah. Mengapa aku tidak memilih untuk menjalani sesuatu yang aku suka, dibandingkan sesuatu yang sekedar bisa kulakukan? Mengapa aku tidak mencoba mencari teman di bengkel-bengkel motor, mungkin saja mereka dapat mengantarkanku ke sirkuit. Mengapa aku tidak mencoba untuk kursus alat musik, maybe I can be mastered on it.
Mengapa aku harus berada di sini? Mengapa aku harus dihadapkan pada situasi yang membuatku nampak layaknya sosok payah yang sok jadi playboy bajingan? Payah. Aku payah. Seperti regu tembak yang mengibarkan bendera putih sebelum membuat senapan mereka mengeluarkan sebuah selongsong peluru.
Namun semua ini tetaplah pilihanku. Apa salahnya jika kelak aku menjadi musisi, penyanyi, atau pembalap bergelar STP? Apa salahnya, jika aku diharuskan menikmati rasa yang membiru dan hidup yang kelabu saat ini? Masa depan, who knows? Manusia hanya bisa bersiap, namun hanya Tuhan yang mampu memutuskan yang terjadi esok.
Aku akan kembali di sini, segera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Monggo dikomentari, gunakan bahasa yang sopan ya ! :)