Inilah sebuah cerita, tentang aku dengan nenekku, Ibunda
dari Ibuku.
Jumat, 17 Maret 2017. Aku pulang ke Pandaan, dengan
menitipkan motorku di Terminal Arjosari, lalu naik bus. Memang agak aneh,
mengingat aku terbiasa mengendarai Black Angel (re: Revo 110 ‘09) dari Malang
ke Pandaan. Ya, aku memang memilih menggunakan bus, agar motorku mendapat
penjagaan di Malang. Tak berhenti di situ, di hari yang sama aku masih harus
menggunakan moda transportasi yang sama, untuk pergi ke Klaten. Kali ini, bukan
liburan. Aku dan orang tua serta kedua adikku akan mengikuti Misa 1 tahun wafatnya
Mbahkung Slamet (lihat tulisanku untuk Mbahkung Slamet disini).
Pagi harinya, aku telah sampai di Klaten. Seperti biasa, aku
menginap di rumah keluarga Ibu, mengingat rumah keluarga Ibu lebih mudah
diakses karena berada di pinggir jalan yang dilalui bus antar kota. Dengan
beberapa tugas yang belum bisa kuselesaikan, aku memilih menyibukkan diriku.
Sedangkan Ibu dan adik
perempuanku beserta Nenekku, pergi ke Solo untuk menjenguk Mbahdhe (aku bingung harus menyebutnya apa, karena beliau yang sakit adalah kakak dari Nenekku). Aku tak merasakan sesuatu yang berbeda, aku hanya merasa seperti sedang berkuliah di Klaten (karena masih berkutat dengan tugas), padahal aku berkuliah di Malang.
perempuanku beserta Nenekku, pergi ke Solo untuk menjenguk Mbahdhe (aku bingung harus menyebutnya apa, karena beliau yang sakit adalah kakak dari Nenekku). Aku tak merasakan sesuatu yang berbeda, aku hanya merasa seperti sedang berkuliah di Klaten (karena masih berkutat dengan tugas), padahal aku berkuliah di Malang.
Hari Minggu telah tiba, 19 Maret 2017, malam hari. Inilah
saatnya, Misa peringatan 1 tahun wafatnya Mbahkung Slamet. Tak terasa, sudah
354 hari Mbahkung Slamet pergi, meninggalkanku sebagai seorang cucu yang
pantang kembali meski kesasar. Aku berangkat dari rumah keluarga Ibu menuju
rumah keluarga Bapak, menggunakan motor Tanteku di Klaten. Setelah sampai,
ternyata ada komando dari Bapak untuk kembali ke rumah Ibu “Kak, jemput
Mbahkung Gito sama Mbahdok ya, kamu balik lagi ke rumah Ibu”. Kembalilah aku,
dan menjemput Mbahkung Gito dan Mbahdok, bersama dengan Omku, adik dari Ibu. Sebenarnya,
Om memintaku untuk mengantar Mbahkung Gito, namun Mbahdok ngendika (berkata) “Aku
karo Io wae”, artinya “Aku sama Io aja”. Ya, panggilan rumahku memang Io, hanya
2 huruf vokal. Aku merasa ada yang aneh, bukan hal biasa bagiku saat Mbahdok
lebih memilih aku untuk mengantarnya, bukan Omku. Aku merasa sungguh janggal,
seakan-akan aku belum tentu bisa mengantar Mbahdok lagi.
Lalu, aku pun sampai kembali di rumah Bapak untuk kedua
kalinya. Seperti biasa, ada pinjaman kamera DSLR untuk acara ini. Sama seperti
saat pemakaman Mbahkung, aku kembali menjadi fotografer. Aku berusaha
mengabadikan segala momen yang ada, termasuk sosok Romo pemimpin Misa yang
ternyata merupakan Romo Bule yang sudah WNI. Dan setelah Misa, Mbahkung Gito
dan Mbahdok minta waktu untuk ngobrol bersama Romo Bule, dan aku tak lupa
mengabadikan momen itu.
Namun, karena dikejar waktu (aku harus berkuliah pukul 06.30
keesokan harinya), aku segera berkemas dan menuju ke jalan terdekat yang
dilalui bus antar kota menuju Malang. Perjalanan berjalan terasa sangat lama,
mengingat setiap detik menjadi sangat berharga karena aku berharap dapat masuk
kuliah tanpa terlambat. Keesokan harinya, aku sudah berada di Terminal
Arjosari, pukul enam pagi. Mengingat aku harus kuliah 06.30, aku pun segera
mengambil Black Angel di tempat parkir, dan bergegas pergi ke kos untuk meletakkan
beberapa barang tak penting. Sebenarnya, aku terlambat 15 menit untuk datang ke
kelas, namun dosenku lebih terlambat lagi. Alhasil, aku masuk kelas tanpa
dihitung terlambat.
Beberapa hari kemudian.....
Ada kabar dari Klaten “Mbahdok gerah”, artinya “Mbahdok
sakit”. Sejujurnya aku merasa sedih mendengarnya, dan ingin kembali ke Klaten.
Namun, apalah dayaku sebagai seorang Mahasiswa UB, bukan pengangguran, yang
punya kewajiban utama untuk belajar di Malang. Hingga kemudian, Ibu memutuskan
untuk berangkat ke Klaten sendirian. Atas desakan Bapak lah, Ibu berangkat ke
Klaten, karena Mbahdok adalah Ibu kandung dari Ibuku.
Ceritaku masih berlanjut. Rabu, 29 Maret 2017, malam hari,
aku sedang berlatih untuk tugas Mazmur di Katedral Ijen, Malang. Aku bertugas
hari Minggu, 2 April 2017, tepat setelah Mbahkung Slamet wafat. Di tengah
latihan, kulihat ada telepon masuk dari kakak sepupuku di Bandung (Sebenarnya
aku adalah cucu pertama di keluarga Ibu, namun aku lahir dari anak kedua).
“Halo bro, kenapa?”
“Mbahdok kritis bro, masuk ICU.” Dan terdengar isak tangis
dari Bandung.
“Iya, aku udah cek di grup. Doain aja ya, Ibu juga udah
disana kok. Mama kapan kesana?” Mama adalah panggilanku untuk Budhe, Ibu dari
kakak sepupuku.
“Mama udah dapet tiket, malem ini berangkat ke Klaten. Aku
nyusul kalo emang udah bisa ijin. Kamu rencana kesana nggak?
“Iya aku rencana kesana, kalo kuliahnya agak longgar. Nanti
kabar-kabar aja kalo ada yang mau balik.”
“Oke bro, doain Mbahdok ya.”
“Iya pasti aku doain. Aku kebetulan lagi di gereja nih, buat
latihan tugas. Kalo selesai aku doain ya. Udah nggak usah nangis lagi bro,
doain aja. Apapun yang terjadi, itu yang terbaik buat Mbahdok. Udah dulu ya
telponnya, next time lagi.”
Percakapan pun berakhir, dan aku kembali latihan. Seusai
latihan, kusempatkan berdoa sejenak.
“Tuhan, kenapa Mbahdok
sakit? Kenapa Io merasa kalau Tuhan mau ambil Mbahdok dari Io? Dulu Mbahdok
janji loh, mau dateng ke pernikahan, tahbisan, sama pengucapan kaul sebelas
cucunya. Apa ya Tuhan mau tetep ambil Mbahdok dari dunia ini? Terserah Tuhan
deh, Tuhan yang Maha Tahu, apa yang terbaik untuk seluruh ciptaanNya.”
Kamis, 30 Maret 2017, pagi hari. Sebuah chat masuk “Kak,
jemput di taspen yaa”. Ah, ternyata adikku yang minta dijemput. Bergegaslah aku
menuju taspen, segera menjemputnya yang berangkat naik bus dari Pandaan. Lalu
di atas motor, terjadilah percakapan
“Kak, aku pengen ke Klaten waa.”
“Iya, aku juga, liat kondisinya Mbahdok yang kayak gitu.”
“Tapi mosok iya, kita bilang Bapak sama Ibu kalo kita pengen
ke Klaten?”
“Nggak usah dulu deh, minggu depan aja kalo emang Mbahdok
belum baikan.”
“Yawis Kak.”
Percakapan berakhir, disusul dengan sampainya adikku di
kosnya.
Hari berganti malam, dan aku sedang berada dalam sebuah rapat. Di tengah rapat,
ponselku berdering, ada telepon dari Bapak.
“Halo Pak, ada apa?”
“Cek WA ya le, penting.”
Ada pesan dari Bapak “Anak-anak, Ibu minta kita segera ke Klaten.
Malam ini kita berangkat.”. Aku pun bergegas izin meninggalkan rapat, dan
segera menuju ke kos adikku untuk mengantarnya ke Terminal Arjosari, dan
membeli tiket untuk Bapak dan kedua adikku. Aku memang tidak mungkin berangkat
bersama, karena ada beberapa urusan lain. Setelah adikku berangkat, aku
bergegas ke kos untuk menyiapkan barang bawaan, dan membereskan beberapa
tanggung jawab.
Sesuai janjiku dengan kakak sepupuku, siapa yang berangkat
ke Klaten harus memberi kabar.
“Bro, aku ke Klaten malam ini.”
“Naik apa? Masih ada bus jam segini?”
“Nggak tau sih bro, kalo nggak ada bus dari Malang ya
motoran ke Surabaya dulu. Jelek-jeleknya ya motoran sampe Klaten.”
“Jangan motoran, ini perintah. Kasian yang di Klaten malah
pada mikir keselamatanmu.”
“Santai bro, aku udah nyiapin semuanya. Aku tadi udah tidur
siang, trus ini juga mau makan. Adikku juga ngerti rencana terburukku kok.
Pokoknya aku naik apapun, doain aku selamat aja.”
“Okee, ati-ati ya. Semoga selamat sampe di Klaten.”
“Amin, aku berangkat dulu bro.”
Percakapan berakhir, dan bulat sudah tekadku untuk pergi ke
Klaten menunggang Black Angel.
Tepat pukul 9 malam, aku berangkat bersama Black Angel
menuju ke Klaten. Aku mengendarai Black Angel tak terlalu cepat, bahkan jarang
sekali mencapai 70 km/jam. Namun dengan kecepatan secukupnya, aku telah berhasil
mendahului beberapa bus jurusan Surabaya-Yogyakarta yang terkenal sebagai raja.
Ketika sampai di daerah Saradan, aku mendahului sebuah bus, yang ternyata
adalah bus yang ditumpangi oleh Bapak dan kedua adikku. Beberapa kilometer
setelahnya, aku berhenti di minimarket untuk beristirahat sejenak. Aku membuka
ponsel dan ada pesan dari adikku “Kata Bapak, ati-ati. Nggak usah ngebut.”.
Baiklah, aku tidak akan ngebut. Pukul 03.46, aku sudah berada di rumah keluarga
Ibu. Aku tiba di sana lebih cepat dari Bapak dan kedua adikku. Setelah tiba,
aku segera mencuci muka lalu tidur.
Jumat, 31 Maret 2017, pagi hari. Aku memulai hariku dengan
memandikan Black Angel yang mendadak menjadi dekil setelah menempuh jarak
sekitar 320 km dalam semalam. Setelah Black Angel bersih, aku memandikan diriku
sendiri, dan menuju RSST Klaten, tempat Mbahdok dirawat. Tak lama kemudian, aku
sudah berada di ruang di mana Mbahdok dirawat. Aku sungguh bersedih, melihat
Mbahdok dengan kondisinya yang sedang terkulai lemah tak tersadar di atas bed.
Aku hanya bisa berdoa, dan memotivasi Mbahdok,
“Mbahdok, cepet sembuh
ya. Ayo milih lagu buat Misa Pesta Emas Perkawinannya Mbahkung Mbahdok. Nanti
biar Bapak yang ngelatih, biar anak cucu yang koor.”
Tak lupa, Ibu dan Bapak juga kerap menyanyikan lagu favorit
Mbahdok:
Ndherek Dewi Maria
Temtu geng kang manah
Boten yen kuwatosa
Ibu njangkung tansah
Kanjeng Ratu ing
Swarga
Amba sumarah samya
Sang Dewi, Sang Dewi,
mangestonana
Sang Dewi, Sang Dewi,
mangestonana
Beberapa jam berlalu, aku berada di luar ruang. Banyak orang
silih berganti membesuk Mbahdok, hingga sore pun berlalu. Malam pun kini
datang, dan membuat langit menjadi hitam legam. Tak lama kemudian, ada
panggilan dari perawat, “Keluarga Ibu Endang, silahkan masuk untuk berdoa”. Ini
bukan pertanda baik bagiku, dan seluruh anggota keluarga masuk ke ruang tempat
Mbahdok dirawat untuk berdoa.
Kami tak berhenti mendaraskan doa Salam Maria, terus tanpa
henti, seakan-akan paru-paru kami terbuat dari kompresor udara. Detak jantung
Mbahdok berkuranh drastis, dan terus menurun perlahan selama kami berdoa.
Sampai saatnya, Ibu berkata kepada Mbahkung Gito “Pak, matur Ibuk, Bapak ikhlas”.
Namun Mbahkung Gito tak mampu untuk mengatakannya. Lalu Ibu berkata sekali lagi
“Yen Bapak mboten saged, Ibuk di-sun wae”, artinya “Kalo Bapak nggak bisa, Ibuk
dicium saja”.
Benar, Mbahkung Gito mencium kening Mbahdok, lalu duduk di
sampingnya. Lalu, detak jantung Mbahdok terus menurun, tiap detiknya turun 1
BPM (beat per minute/detakan per menit), sehingga tampilan detak jantung dalam
angka sudah berubah menjadi hitungan mundur. Hingga pada akhirnya, aku melihat
sendiri, Mbahdok telah dipanggil Tuhan. Aku terdiam, terpaku, menyaksikan sosok
Mbahdok pergi meninggalkan dunia fana ini. Aku pun menangis (bahkan ketika
tulisan ini dibuat, aku menangis mengingat kejadian itu kembali), masih belum
percaya bahwa sosok yang berbaring tak bernyawa di depanku adalah Mbahdok,
Nenekku sendiri. Namun aku bersyukur, Tuhan masih memberi kesempatan padaku
untuk mengantarkan Mbahdok ke Misa peringatan 1 tahun wafatnya Mbahkung Slamet,
dan mengantarkan Mbahdok pergi dengan untaian doa.
Masih di malam yang sama, aku menunggu kedua Omku mengurus
administrasi sehubungan dengan jenazah Mbahdok. Semua orang yang kukenal disitu
kutanyai, “Kenapa sih Mbahdok harus pergi sekarang?”. Ada banyak jawaban, dan
aku pun tak dapat mengingatnya. Yang aku tahu, Tuhan sayang Mbahdok lebih dari
aku sayang Mbahdok. Dan ada sebuah jawaban lagi yang mengena:
“Le, Mbahdok itu nggak
pernah mau ngerepotin orang lain. Mbahdok jarang banget mau berhubungan sama
tindakan medis kalau lagi sakit. Udah nggak papa, Mbahdok kan sekarang udah
nggak sakit, udah pergi. Sekarang tugas kita nganter Mbahdok pake doa, biar
Mbahdok sampe di Surga.”
Jenazah Mbahdok pun tiba di rumah. Ketika Mbahdok sudah
dirias dan berada di dalam peti yang terbuka, aku berdoa:
“Mbahdok, kenapa
perginya sekarang? Mbahdok kan udah janji, mau nungguin cucu-cucunya pas nikah,
tahbisan, sama ucap kaul nanti. Mbahdok juga katanya pengen bisa ngadain Misa
Pesta Emas Perkawinan, katanya pengen anak cucunya yang koor. Itu Bapak udah
bersedia loh buat ngelatih. Tapi kalau itu yang terbaik, Io berusaha ikhlas
kok. Mbahkung aja kuat, masa’ Io gini aja udah mewek, udah nangis? Masa’ Io
udah mau 20 tahun masih cengeng? Nyuwun pangestu nggih Mbahdok, cucu-cucunya
Mbahdok masih harus meneruskan perjalanan panjang. Io berharap Mbahdok bisa
lihat cucu-cucunya sukses, trus lihat cucu-cucunya nikah, tahbisan, ucap kaul.
Amin.”
Sabtu, 1 April 2017, pagi hari. Aku segera bersiap,
mengingat upacara tutup peti dan pemakaman akan segera dilangsungkan. Terlihat
banyak sekali orang berbondong-bondong datang ke rumah keluarga Ibu, untuk
mendoakan Mbahdok, untuk menyampaikan belasungkawa yang sebesar-besarnya. Juga,
banyak karangan bunga yang diletakkan di pinggir jalan, dan jumlahnya sungguh
di luar dugaanku. Betapa banyak orang yang menyayangi sosok Mbahdok, betapa
banyak. Aku yakin, Mbahdok sungguh pribadi yang sangat baik dan mengesankan
bagi banyak orang.
Tak lama kemudian, upacara tutup peti dilangsungkan. Sebelum
peti ditutup, segenap anak, menantu, dan cucu menyanyikan sebuah lagu untuk
Mbahdok:
Ave Maria gratia plena,
Dominus tecum,
Benedicta tu in
mulieribus
Et benedictus fructus
ventris tui Iesu
Sancta Maria, sancta
Maria, Maria
Ora pro nobis, nobis
peccatoribus
Nunc et in hora, in
hora nobis nostrae
Amen,amen.
Lalu peti ditutup, dan kami kembali menangis. Sejak saat
itu, menyanyikan Ndherek Dewi Maria dan Ave Maria berbahasa Latin adalah
tantangan berat dalam hidupku, karena saat membaca teksnya saja, air mataku
berderai,teringat Mbahdok (bahkan sampai saat tulisan ini ditulis, aku pun
masih menangis untuk menulisnya).
Seusai ditutup, peti pun diangkat keluar rumah. Di halaman
rumah, segenap anak cucu berbaris untuk melaksanakan upacara Brobosan, yaitu
upacara melewati kolong peti yang diangkat dan memutarinya searah jarum jam
sebanyak 3 kali. Dalam adat istiadat Jawa, upacara ini merupakan wujud
penghormatan terakhir dari keluarga yang ditinggalkan. Masih dengan berurai air
mata, kami berbaris melewati kolong peti Mbahdok, sebagai wujud penghormatan
terakhir kami terhadap wujud fisik Mbahdok, yang kemudian tak akan pernah kami
lihat lagi, yang kemudian akan kembali seperti semula, kembali menjadi tanah.
Peti mati kini berada di dalam mobil jenazah, siap dibawa
pergi menuju Makam Katolik Semangkak, Klaten. Setelah semua bersiap, rombongan
melaju menuju tempat pemakaman, rumah masa depan bagi Mbahdok. Aku pun segera
menunggang Black Angel, mengingat adik laki-lakiku yang sering mabuk saat naik
mobil, sehingga aku harus memboncengnya. Dalam perjalanan, langit pun mendung. Aku
berharap,hujan tidak datang sebelum upacara pemakaman selesai. Setiba di tempat
pemakaman, upacara pemakaman dilangsungkan. Peti mati diturunkan secara
perlahan, ke dalam liang kubur yang telah disiapkan. Setelah peti sampai di
dasar liang, kami menabur bunga, berharap supaya Mbahdok tetap harum sampai
kapanpun, sampai kami bertemu Mbahdok di Surga kelak. Segera setelah itu, liang
kubur kembali ditutup dengan tanah. Ya, kami tak dapat memandang wujud fisik
Mbahdok lagi. Lalu kami berdoa di makam, dan hujan pun turun. Aku tak berhenti
berdoa, hingga aku kembali membuka mata, dan hanya tinggal aku sendiri di
makam.
Aku pun berteduh, dan kembali terucap sesuatu dari mulutku, “Mbahdok
kehujanan, disitu nggak dingin apa ya? Disitu ada yang nemenin nggak ya?”.
Ternyata, Bapak berdiri tak jauh dariku dan berujar “Mbahdok nggak sendirian
kok, di Surga banyak yang nemenin, dan nggak akan kedinginan.”. Tak lupa juga,
Mbakku, kakak sepupu dari keluarga Bapak, berkata “Mbahdok disana lagi reunian
sama Mbah Putri, sama Mbahkung Slamet juga. Disana udah pada seneng kok.”. Ya, Mbah
Putri dan Mbahkung Slamet, Nenek dan Kakek dari keluarga Bapak memang sudah
tiada, sudah meninggalkanku terlebih dahulu untuk menanggapi panggilan Tuhan
menuju Surga. Mbahdok kini berkumpul bersama Mbah Putri dan Mbahkung
Slamet, dan mungkin ketiganya sedang mengamatiku mengetik tulisan ini.
Telah tiada, sosok Mbahdok yang selalu mengingatkan anak
cucunya untuk menjaga tata krama dalam banyak hal. Sosok Mbahdok yang selalu
membahagiakan cucu-cucunya dengan masakannya yang tak pernah mengecewakan
(mungkin kasus terburuk hanya kekurangan dan kelebihan garam). Sosok Mbahdok
yang memperlakukan anak cucunya dengan spesial, dengan memberikan 1 gelas atau
cangkir yang harus selalu kami gunakan untuk minum selama berada di rumah
keluarga Ibu. Sosok Mbahdok yang selalu mengingatkan kami untuk selalu mencuci
alat makan dan minum kami masing-masing seusai menggunakannya. Sosok Mbahdok
yang disebut asisten sutradara sinetron, yang spontan berkomentar ketika
menonton sinetron.
Sugeng tindak Mbahdok, sugeng tanggap warsa juga. Jangan lupa
tiup lilin di Surga ya. Kalo lilinnya nggak ada, minta aja sama Tuhan. Tuhan
Maha Memberi kok, pasti Mbahdok diparingi lilin.
In memoriam, Maria
Goretti Endang Marwati Gondo Utami.
Sugeng tindak,
Mbahdok. Io sayang Mbahdok :’)
Pandaan, 25 Mei 2017
Buat Mbahdok di Surga
Dari cucunya yang lahir pertama
Lus(io) Erian Pradana Putra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Monggo dikomentari, gunakan bahasa yang sopan ya ! :)