Minggu, 13 Agustus 2017

Warm Voice, Cold Heart - Bagian Pertama



“Tis, nanti ada latihan jam 7 malam. Jangan lupa.”, Tulis Brian dalam pesan singkatnya untukku.

Ah, sejujurnya aku sedang malas untuk datang latihan, tapi pasti Mas Adi akan mencariku dan memberiku hukuman. Oh, hai. Aku, Robertus Gemuruh Parangtritis, dan orang biasa memanggilku dengan panggilan Titis. Nama yang unik, bukan? Ya, kedua orang tuaku sangat menyukai suasana Pantai Parangtritis –terutama gemuruh ombaknya- sehingga putra pertamanya diberi nama seperti ini.

Aku pun bergegas menuju kamar dan berganti pakaian. Kulihat jam dinding di atas meja belajar, dan aku masih punya waktu 32 menit untuk menuju tempat latihan. Inikah saatnya bermalas-malasan? Toh aku hanya perlu waktu 10 menit untuk mencapai tempat latihan. Dan tak lama kemudian, ponselku berdering karena sebuah pesan singkat.

“Woy Tis, ayo latihan. Kamu mau datang jam berapa? Mas Adi sudah datang.”, dan lagi-lagi, Brian.

Mas Adi, sosok pelatih yang rajin, dan selalu membuat anak didiknya merasa terlambat. Brian, sosok sahabat satu tim yang takut dengan pelatihnya. Baiklah, tunggu saja, aku akan segera datang. Segera kutunggangi sepeda motorku, dengan keyakinan bahwa aku akan sampai di kampus dalam waktu 7 menit.

“Hai rek, apa aku sudah terlambat?”, tanyaku kepada semua orang di kelas.

“Belum, Tis, tapi Mas Adi datang lebih dahulu.”, sahut Dian dari sudut ruangan.

Kali ini, kami meminjam ruang kelas fakultasku untuk berlatih. Sebenarnya, kami biasa berlatih di aula fakultas, karena ruangan tersebut lebih besar dan pantas untuk kami gunakan latihan paduan suara. Namun, apa daya kami yang hanya segelintir mahasiswa -yang merasa berprofesi sebagai penyanyi- saat Pak Raka, Sang Dekan, menyampaikan bahwa besok akan diadakan Yudisium di aula fakultas.

Dan Mas Adi bersabda, “Baik, mari kita mulai latihan hari ini. Saras, silahkan pimpin doa”. Ternyata, waktu terus berjalan, dan arlojiku menunjukkan pukul 19.01. Terlambat 1 menit untuk memulai latihan. Sepanjang latihan, aku berkali-kali menguap. Aku memang merasa sangat mengantuk, itulah penyebab mengapa aku merasa malas untuk mengikuti latihan hari ini. Aku membawa diriku ke tempat latihan hari ini, hanya karena tidak ingin mendapat hukuman dan denda.

Seusai latihan, Mas Adi menghampiriku. Sepertinya dia memperhatikanku sepanjang latihan, dan aku tak menyadarinya. Dan Mas Adi mengucapkan beberapa kata, "Nggak seperti biasanya, Tis. Ada apa?". Aku menguap berkali-kali sepanjang latihan, dan Mas Adi masih bertanya? Ingin rasanya aku memukulnya, saat menanyakan pertanyaan yang sudah dia ketahui apa jawabannya.

"Aku ngantuk, Mas. Semalam nggak bisa tidur, trus tadi siang aku ngojek, buat ngisi dompet. Udah tipis nih Mas, namanya juga anak kos.", sahutku setelah mendengar pertanyaannya.

"Ngantuk itu solusinya tidur, bukan ngojek. Uang memang penting, tapi bisa dicari lain waktu. Istirahat cukup juga penting buat badan."

Kupikir, benar juga ucapannya. Mas Adi ternyata memperhatikan anak-anak didiknya. Beberapa temanku juga pernah merasakan perhatiannya, sebelum aku merasakannya. Namun, rasa kantuk mengalahkan segalanya. Kulihat arlojiku menunjukkan pukul 21.09, lalu aku bergegas kembali ke kos dan segera tidur nyenyak.

Keesokan harinya, aku harus berlatih lagi. Bukan bersama paduan suara fakultasku seperti semalam, kali ini aku dan Brian akan berlatih di Gereja Paroki di utara kota. Aku dan Brian terlibat aktif dalam Keluarga Mahasiswa Katolik di fakultas, dan kami ditunjuk menjadi perwakilan KMK Fakultas menjadi anggota paduan suara gabungan OMK Paroki dan KMK wilayah Kota Malang.

"Bri, bisa nyusul aku nggak? Motorku nggak bisa keluar nih, anak kosan parkirnya nggak pinter."

"Bisa, otw sekarang ya. Eh, titip bungkusin sarapan di warung depan kosmu ya. Nasi pecel pake lauk babat. Jangan lupa minta sendok bebek.", Brian menjawab, memberi sebuah kelegaan sekaligus tugas untukku. Dasar.

Setelah membelikan titipan Brian, aku segera menyeberang kembali ke kos. Brian datang tak lama kemudian. Dan aku melupakan sesuatu: dompet! Dompetku masih tertinggal di warung. Bersamaan dengan kesadaranku, "Titis, ini dompetmu, le, ketinggalan ini lho.",
Bu Ambar sudah berteriak memanggilku dari warungnya.

Dompet sudah di tangan, Brian sudah menyalakan kembali mesin sepeda motornya, dan kami bergegas menuju Gereja Paroki di utara Kota Malang. Berjarak sekitar 5 km dari kosku, dan kami dapat sampai di tujuan dalam waktu 13 menit menurut peta online di ponselku. Berbeda dari perkiraan peta online, kami sampai di tujuan dalam 11 menit, pukul 07.50.

Sesampainya kami di tempat latihan, kami disambut oleh tiga anggota OMK setempat: Robby, Paul, dan Lisa.

"Nama saya Titis, dan ini teman saya, Brian. Kami dari Fakultas Pertanian, Universitas Tengah Kota Malang."

Lalu kami saling berjabat tangan dan berkenalan. Hanya ada satu gadis di antara kami: Lisa. Aku terpesona akan senyumnya, saat menyambutku semenit yang lalu. Wajahnya manis, dengan rambut hitam panjang terurai hingga punggung. Sosok yang menarik bagiku, entah bagi orang lain.

"Liatin Lisa ya, Tis?", celetuk Brian saat kami berdua berjalan menuju bawah pohon mangga untuk menyantap sarapan.

"Enggak kok, Bri. Sok tau."

Sebenarnya, aku memang berjalan sambil memandangi Lisa yang semakin jauh dariku -karena aku yang berjalan menjauhinya-. Aku masih malu untuk mengakui, bahwa aku tertarik dengan Lisa, dan ingin mencoba mendekatinya. Dan tak lama kemudian, Lisa datang menghampiri kami.

"Titis, Brian, kalau sudah selesai sarapannya, segera ke aula ya. Pak Bagus sudah datang."

"Em, udah selesai kok. Ngomong-ngomong, kamar mandi di mana ya, Lis?"

"Di belakang bangunan utama Gereja, Bri, ada tulisannya kok."

"Kalian duluan aja deh, aku mau ke kamar mandi dulu."

Dalam hati aku mengucap terima kasih kepada Brian, karena dia memberiku kesempatan untuk memulai sebuah pendekatan.

"Kuliah di mana, Lis?"

"Aku kuliah di Universitas Kota Lama, Tis. Oh iya, kamu semester berapa?"

"Aku semester 3 sekarang, kamu?

"Wah kebetulan kita sama, aku juga semester 3 sekarang."

Dan percakapan kami terhenti setelah sampai di aula. Aku segera mengambil posisi di barisan para tenor, dan Lisa berbaris bersama para alto. Pak Bagus memulai latihan dengan menunjuk salah satu orang untuk memimpin doa.

"Kamu, pimpin doa pembukaan."

"Saya, Pak?"

"Iya, kamu. Silahkan perkenalkan dirimu sebelum memimpin doa. Sebutkan nama dan OMK atau KMK asalmu."

"Nama saya Titis, dari KMK Fakultas Pertanian Universitas Tengah Kota."


Lalu, aku memimpin doa pembukaan. Setelah itu, latihan dimulai.

"Silahkan dibuka partiturnya, cari lagu berjudul "Ambillah dan Trimalah" aransemen Onggo Lukito."

Aku sudah tak asing dengan lagu tersebut. Lingkunganku di kampung halaman -di Pandaan- pernah membawakan lagu ini di Lomba Paduan Suara Antar Lingkungan Se-Paroki, dan menjadi jawara. Kebetulan, Bapak adalah pelatihnya. Beliau adalah penyanyi keroncong, dan berjodoh dengan Ibu yang seorang penyanyi seriosa.

Setelah kami usai menyanyikan lagu tersebut sekali, Pak Bagus tiba-tiba memanggilku dan bertanya, "Titis, sudah pernah nyanyi lagu ini?".

"Sudah, Pak."

"Oke, bantu saya. Kamu latih tenor, sisanya saya yang latih."

Di hari pertamaku berlatih bersama kelompok ini, aku sudah mendapat kepercayaan dari Pak Bagus. Sebuah hal yang menyenangkan dan membanggakan bagiku.

Dua jam berselang, Pak Bagus mengakhiri latihan.

"Robby, silahkan pimpin doa penutup."

Robby pun segera memimpin doa penutup, dan latihan segera berakhir.

Di pintu aula, aku kembali bertemu Lisa.

"Suaramu bagus, Tis. Udah lama nyanyi ya?"

"Ah enggak juga, Lis. Kebetulan memang orang tuaku penyanyi, jadi ya dari dalam kandungan Ibu aku suka nyanyi, hehe.", balasku, berakhiran sebuah tawa.

"Wah, keren. Sudah takdirmu jadi penyanyi deh kayaknya."

"Ah apaan deh, Lis. Ngomong-ngomong, suaramu juga bagus kok. Oh iya, boleh minta nomor hp nggak? Kali aja aku butuh kamu pas lagi ada acara nyanyi gitu."

"Aku dikte ya. Kamu bisa sms, atau chat aku. Nomor identitasnya itu semua kok."

Aku berhasil mendapatkan nomor ponsel Lisa. Satu langkah telah kulalui. Kupikir, Lisa tak akan memberikan nomor ponselnya pada orang yang baru dikenalnya. Ternyata, pikiranku tak sesuai dengan kenyataan. Ada sedikit bunga mulai bermekaran di hatiku.

"Tis, ayo balik. Aku numpang istirahat bentar di kosmu ya!"

"Oke deh Bri, tapi mampir beli makan dulu ya. Aku belum masak nasi nih!"

"Iya deh, makan bakso gerobak depan gang kosmu aja ya, lama nggak mampir ke Pak Ridho."

"Boleh deh, terakhir ke sana 3 minggu lalu ya kayaknya. Udah, kuy Bri!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Monggo dikomentari, gunakan bahasa yang sopan ya ! :)