Minggu, 27 Agustus 2017

Warm Voice, Cold Heart - Bagian Kedua


“Eh, Titis, Brian. Piye kabare? Sehat? Lama nggak ketemu ya.”

“Baik kok, Pak. Ini lho, Titis kangen makan bakso.”

“Iya Pak, aku kangen. Bikinin semangkok kayak biasa ya, Pak.”

“Siap, le! Brian pesen apa?”

“Campur Pak, semuanya sebiji-sebiji.”

Sudah tiga minggu aku tak menyantap bakso buatan Pak Ridho ini.
Sebenarnya, setiap hari aku melewati tempat Pak Ridho berjualan, tapi, apa aku harus makan bakso tiap hari? Kebetulan, memang aku sedang menginginkan bola-bola daging giling bercampur tepung itu.


Selagi makan, Brian membuka sebuah percakapan, “Dari mana kamu ngerti lagu tadi, Tis?”

“Aku udah pernah nyanyi itu di Pandaan. Nanti kalo semua section udah jadi, dinamikanya udah bener, jadinya bagus kok.”

“Di Pandaan siapa yang ngelatih? Bapakmu?”

Ho’oh, Bapak.”

Dientekke sik, lagek ngobrol neh.”, celetuk Pak Ridho melihat kami mengobrol saat makan. Logatnya khas Jawa Tengah, karena beliau berasal dari Karanganyar.

Sampun, Pak, sampun telas niki lho.

“Habisnya sama-sama 8 ribu.”

Brian menyodorkan selembar 20 ribu, dan membayar untuk dua mangkok.

“Udah, Tis. Tak bayari.

“Makasih, Bri. Matursuwun, Pak.”

Inggih sami-sami, le. Ati-ati, jangan lupa mampir lagi.”

Sesuai dengan kesepakatan sebelum pulang, Brian beristirahat sejenak di kamar kosku. Sebuah kamar berukuran 2,5 x 2,5 meter, lengkap dengan 2 buah meja dan sebuah lemari, serta kasur busa tanpa dipan. Rapi? Jangan ditanya, jelas tidak se-rapi kamar anak-anak perempuan, setidaknya tidak ada barang berserakan. Brian langsung melempar tubuhnya ke kasur busa, dan sudah tidak peduli dengan dunia sekitarnya. Dia terlihat sangat lelah, entah apa yang dilakukannya selepas latihan semalam.

Sepertinya, Brian sudah berteleportasi ke dalam fantasi pejaman matanya. Mendadak aku teringat, aku menyimpan nomor Lisa. Segera saja aku chat Lisa.

“Hai, Lis. Ini Titis, anak KMK FP Universitas Tengah Kota yang tadi. Ini nomorku, di-save ya.”

Sambil mengisi waktuku yang, entahlah, terasa kosong, aku mencoba membaca partitur lagu “Ambillah dan Trimalah”. Kali ini, aku mencoba menyanyi dengan nada milik section bass. Sebenarnya, aku bukanlah seorang tenor maupun bass. Aku adalah seorang baritone, semacam section di antara jangkauan nada tenor dan bass. Namun tak cukup sulit bagiku untuk menyentuh nada-nada bawah bass, dan menggapai nada-nada atas tenor.

“Hai Titis, iya aku simpen. Makasih ya, tadi udah mau dateng ke latihan. Jangan lupa dateng lagi minggu depan. Nggak usah bawa sarapan kayak tadi, latihan berikutnya ada konsumsi dari Paroki.”

“Puji Tuhan, ada sarapan gratis minggu depan. Oke makasih infonya, Lis. Sampai ketemu minggu depan.”

Setelah setengah jam berlalu, ternyata Lisa membalas pesan singkatku. Ada kabar baik dari Lisa, karena adanya sebuah jaminan sarapan pagi gratis minggu depan. Harap dimaklumi, kondisiku sebagai anak kos membuatku selalu bersyukur atas seporsi makan gratis.

Brian mendadak terbangun, sepertinya dia sudah selesai bermimpi. Mungkin dia sudah pulang dari fantasi pejaman matanya.

“Jam berapa, Tis?”

“Melek dulu, di atas kan ada jam.”

Jam dinding bergambar Singo Edan di dinding kamar menunjukkan pukul 15.54, lebih dari 90 menit Brian berada di dunianya. Brian bergegas mengambil ranselnya, dan keluar dari kamar. Pasti dia hampir melewatkan hal penting di akhir pekannya.

Wis yo, Tis, tak balik kos sik.”

Yo, ati-ati. Awas nabrak semut nyabrang.

Gak ngurus, Tis. Tak lindes, beres.”

Hening. Tinggal aku, bersama kamar kosku. Hingga malam tiba nanti, inilah yang akan kurasakan. Kubaca lagi partitur lagu yang sama, hingga hari berangsur gelap. Mataku mulai terasa berat, sudah saatnya kelelawar dan burung hantu berjaga. Lalu, aku pun berdoa.

Dalam doaku sebelum terlelap, terucap sebuah kalimat, “Gusti, apa tujuanMu menghadirkan Lisa dalam kehidupanku? Kehidupanku adalah anugerah dan misteri dariMu. Kuharap, ada sebuah kebahagiaan yang Kau persiapkan di balik sebuah perkenalan ini. Amin.”

Tak terasa, sudah sehari aku tertidur. Aku terbangun di hari yang berbeda. Aku tertidur di hari kemarin, dan terbangun di hari ini. Harinya Tuhan, Minggu, masih pukul 5 pagi. Jadwal misa di Paroki terdekat dari kos masih 180 menit lagi, namun aku memutuskan segera mengguyur tubuh, melawan dinginnya air di Malang kala pagi hari.

Aku pun bergegas pergi ke Gereja Paroki tengah kota, karena tak ingin terlambat dan kehabisan tempat duduk. Sesampainya di Gereja, ternyata misa baru akan dimulai 13 menit lagi. Segeralah aku duduk, dan kali ini aku memilih bangku tengah, deretan nomor 4 dari depan. Kulihat masih ada tempat duduk untuk 4 orang. Dan menjelang misa dimulai, seorang gadis yang baru datang memilih duduk di sisi kiriku.

“Eh, Titis. Baru kemarin kita ketemu, udah ketemu lagi.”

“Eh, Lisa. Iya ya, kita ketemu lagi.”

Kemudian, misa dimulai. Aku dan Lisa mengikuti misa dengan (berusaha) khusyuk, tanpa ada sepatah kata. Kami turut menyanyikan 11 lagu dari awal hingga akhir misa, karena kami mengenal semua lagunya. Hingga 77 menit berselang, lagu kesebelas selesai dinyanyikan.

“Ayo keluar, Lis.”

“Ayo.”

Di luar Gereja, aku kembali berusaha melanjutkan percakapan.

“Kok nggak misa di Parokimu, Lis?”

“Aku kesiangan, Tis, tapi aku punya urusan lain jam 11. Gak nutut nek ikut misa jadwal berikutnya di Parokiku.”

“Memangnya, kamu mau kemana?”

“Aku mau ke kampus, ada rapat KMK.”

Usut punya usut, Lisa adalah seorang bendahara KMK Universitas Kota Lama. Sebuah jabatan yang membuktikan kecintaannya dalam berorganisasi, khususnya dalam bidang kerohanian.

“Tadi naik apa? Bawa motor?”

“Enggak, Tis. Tadi aku naik ojek.”

“Mau tak anter? Aku bawa helm lebih kok.”

Sebenarnya, hari ini aku berniat ngebid, karena aku terdaftar sebagai driver ojek online di sebuah perusahaan. Karena itulah, aku membawa helm lebih.

“Jauh lho, Tis. Kamu yakin mau anter? Yaudah deh, boleh. Nanti uang bensinnya aku ganti.”

“Nggak usah, Lis. Bayarin parkir aja deh, aku nggak punya uang pas buat bayar parkir.”

Segeralah kami berangkat. Hari ini, Malang begitu cerah. Anginnya begitu membuai, namun sinar UV tetap terasa sangat mencubit punggung tanganku. Kuputuskan berhenti sejenak, saat melihat penjual es dawet yang bernaung di bawah halte.

“Panas nih, Lis. Aku mau beli dawet, kamu mau?”

“Boleh deh, kamu ngerti aja aku gerah.”

“Pak, es dawet 2 nggih.

“Siap bosku, tunggu sebentar ya.”

Tak lama berselang, 2 mangkuk es dawet selesai diracik. Sambil duduk di halte, kami menikmati kesegarannya.

“Ternyata kamu aktif juga ya di KMK.”

“Ah, enggak juga, Tis. Kebetulan aku dipercaya jadi bendahara. Kamu sendiri, apa ya nggak aktif? Wong kamu dipilih buat ikut koor gitu.”

“Aku, em, cuma dipasrahi tanggung jawab program kerja pelayanan liturgis.”

“Termasuk koor?”

“Lebih dari itu. Koor, tata laksana, lektor-lektris, pemazmur.”

“Hebat juga kamu, dikasih kepercayaan kayak gitu.”

“Udah, habisin esnya, keburu kamu telat. Esku udah abis loh.”

“Iya-iya, ini tinggal sesendok lagi kok.”

Perjalanan masih berlanjut. Masih tersisa 3,2 kilometer lagi, menerjang sejuk dan sengat yang berpadu menghampiri Malang. Setelah 10 menit, perjalanan ini harus berakhir.

“Makasih banyak, Tis. Mungkin aku bisa terlambat kalau nggak kamu tawarin tebengan. Maaf banget ya, jadi ngerepotin kamu.”

“Ah, enggak ngerepotin kok. Aku udah biasa anter jemput orang.”

“Udah kayak ojek ya. Yaudah, aku masuk dulu ya. See you next time!

Lisa meninggalkanku di tepi jalan, sambil melempar senyuman manisnya. Entah, bibirku tak mampu bergerak, dan aku hanya dapat melambaikan jemari lentikku padanya.

2 komentar:

  1. Good job! Bagus bagus👍 udah cocok jd penulis nih😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jadi penulis? Masih jauh deh kayaknya. Masih banyak mimpi yang belum nyata, jangan mancing aku buat nambah list mimpiku ya 😑

      Hapus

Monggo dikomentari, gunakan bahasa yang sopan ya ! :)