“Eh,
Titis, Brian. Piye kabare? Sehat?
Lama nggak ketemu ya.”
“Baik
kok, Pak. Ini lho, Titis kangen makan bakso.”
“Iya
Pak, aku kangen. Bikinin semangkok kayak biasa ya, Pak.”
“Siap,
le! Brian pesen apa?”
“Campur
Pak, semuanya sebiji-sebiji.”
Sudah
tiga minggu aku tak menyantap bakso buatan Pak Ridho ini.
Sebenarnya,
setiap hari aku melewati tempat Pak Ridho berjualan, tapi, apa aku harus makan
bakso tiap hari? Kebetulan, memang aku sedang menginginkan bola-bola daging
giling bercampur tepung itu.
Selagi
makan, Brian membuka sebuah percakapan, “Dari mana kamu ngerti lagu tadi, Tis?”
“Aku
udah pernah nyanyi itu di Pandaan. Nanti kalo semua section udah jadi, dinamikanya udah bener, jadinya bagus kok.”
“Di
Pandaan siapa yang ngelatih? Bapakmu?”
“Ho’oh, Bapak.”
“Dientekke sik, lagek ngobrol neh.”,
celetuk Pak Ridho melihat kami mengobrol saat makan. Logatnya khas Jawa Tengah,
karena beliau berasal dari Karanganyar.
“Sampun, Pak, sampun telas niki lho.”
“Habisnya
sama-sama 8 ribu.”
Brian
menyodorkan selembar 20 ribu, dan membayar untuk dua mangkok.
“Udah,
Tis. Tak bayari.”
“Makasih,
Bri. Matursuwun, Pak.”
“Inggih sami-sami, le. Ati-ati, jangan
lupa mampir lagi.”
Sesuai
dengan kesepakatan sebelum pulang, Brian beristirahat sejenak di kamar kosku.
Sebuah kamar berukuran 2,5 x 2,5 meter, lengkap dengan 2 buah meja dan sebuah
lemari, serta kasur busa tanpa dipan. Rapi? Jangan ditanya, jelas tidak se-rapi
kamar anak-anak perempuan, setidaknya tidak ada barang berserakan. Brian
langsung melempar tubuhnya ke kasur busa, dan sudah tidak peduli dengan dunia
sekitarnya. Dia terlihat sangat lelah, entah apa yang dilakukannya selepas
latihan semalam.
Sepertinya,
Brian sudah berteleportasi ke dalam fantasi pejaman matanya. Mendadak aku
teringat, aku menyimpan nomor Lisa. Segera saja aku chat Lisa.
“Hai,
Lis. Ini Titis, anak KMK FP Universitas Tengah Kota yang tadi. Ini nomorku, di-save ya.”
Sambil
mengisi waktuku yang, entahlah, terasa kosong, aku mencoba membaca partitur
lagu “Ambillah dan Trimalah”. Kali ini, aku mencoba menyanyi dengan nada milik section bass. Sebenarnya, aku bukanlah
seorang tenor maupun bass. Aku adalah seorang baritone, semacam section
di antara jangkauan nada tenor dan bass. Namun tak cukup sulit bagiku untuk
menyentuh nada-nada bawah bass, dan menggapai nada-nada atas tenor.
“Hai
Titis, iya aku simpen. Makasih ya, tadi udah mau dateng ke latihan. Jangan lupa
dateng lagi minggu depan. Nggak usah bawa sarapan kayak tadi, latihan
berikutnya ada konsumsi dari Paroki.”
“Puji
Tuhan, ada sarapan gratis minggu depan. Oke makasih infonya, Lis. Sampai ketemu
minggu depan.”
Setelah
setengah jam berlalu, ternyata Lisa membalas pesan singkatku. Ada kabar baik
dari Lisa, karena adanya sebuah jaminan sarapan pagi gratis minggu depan. Harap
dimaklumi, kondisiku sebagai anak kos membuatku selalu bersyukur atas seporsi
makan gratis.
Brian
mendadak terbangun, sepertinya dia sudah selesai bermimpi. Mungkin dia sudah
pulang dari fantasi pejaman matanya.
“Jam
berapa, Tis?”
“Melek
dulu, di atas kan ada jam.”
Jam
dinding bergambar Singo Edan di dinding kamar menunjukkan pukul 15.54, lebih
dari 90 menit Brian berada di dunianya. Brian bergegas mengambil ranselnya, dan
keluar dari kamar. Pasti dia hampir melewatkan hal penting di akhir pekannya.
“Wis yo, Tis, tak balik kos sik.”
“Yo, ati-ati. Awas nabrak semut nyabrang.”
“Gak ngurus, Tis. Tak lindes, beres.”
Hening.
Tinggal aku, bersama kamar kosku. Hingga malam tiba nanti, inilah yang akan
kurasakan. Kubaca lagi partitur lagu yang sama, hingga hari berangsur gelap.
Mataku mulai terasa berat, sudah saatnya kelelawar dan burung hantu berjaga.
Lalu, aku pun berdoa.
Dalam
doaku sebelum terlelap, terucap sebuah kalimat, “Gusti, apa tujuanMu menghadirkan Lisa dalam kehidupanku?
Kehidupanku adalah anugerah dan misteri dariMu. Kuharap, ada sebuah kebahagiaan
yang Kau persiapkan di balik sebuah perkenalan ini. Amin.”
Tak
terasa, sudah sehari aku tertidur. Aku terbangun di hari yang berbeda. Aku
tertidur di hari kemarin, dan terbangun di hari ini. Harinya Tuhan, Minggu,
masih pukul 5 pagi. Jadwal misa di Paroki terdekat dari kos masih 180 menit
lagi, namun aku memutuskan segera mengguyur tubuh, melawan dinginnya air di
Malang kala pagi hari.
Aku
pun bergegas pergi ke Gereja Paroki tengah kota, karena tak ingin terlambat dan
kehabisan tempat duduk. Sesampainya di Gereja, ternyata misa baru akan dimulai
13 menit lagi. Segeralah aku duduk, dan kali ini aku memilih bangku tengah,
deretan nomor 4 dari depan. Kulihat masih ada tempat duduk untuk 4 orang. Dan
menjelang misa dimulai, seorang gadis yang baru datang memilih duduk di sisi
kiriku.
“Eh,
Titis. Baru kemarin kita ketemu, udah ketemu lagi.”
“Eh,
Lisa. Iya ya, kita ketemu lagi.”
Kemudian,
misa dimulai. Aku dan Lisa mengikuti misa dengan (berusaha) khusyuk, tanpa ada
sepatah kata. Kami turut menyanyikan 11 lagu dari awal hingga akhir misa,
karena kami mengenal semua lagunya. Hingga 77 menit berselang, lagu kesebelas
selesai dinyanyikan.
“Ayo
keluar, Lis.”
“Ayo.”
Di
luar Gereja, aku kembali berusaha melanjutkan percakapan.
“Kok
nggak misa di Parokimu, Lis?”
“Aku
kesiangan, Tis, tapi aku punya urusan lain jam 11. Gak nutut nek ikut misa
jadwal berikutnya di Parokiku.”
“Memangnya,
kamu mau kemana?”
“Aku
mau ke kampus, ada rapat KMK.”
Usut
punya usut, Lisa adalah seorang bendahara KMK Universitas Kota Lama. Sebuah
jabatan yang membuktikan kecintaannya dalam berorganisasi, khususnya dalam
bidang kerohanian.
“Tadi
naik apa? Bawa motor?”
“Enggak,
Tis. Tadi aku naik ojek.”
“Mau
tak anter? Aku bawa helm lebih kok.”
Sebenarnya,
hari ini aku berniat ngebid, karena
aku terdaftar sebagai driver ojek
online di sebuah perusahaan. Karena itulah, aku membawa helm lebih.
“Jauh
lho, Tis. Kamu yakin mau anter? Yaudah deh, boleh. Nanti uang bensinnya aku
ganti.”
“Nggak
usah, Lis. Bayarin parkir aja deh, aku nggak punya uang pas buat bayar parkir.”
Segeralah
kami berangkat. Hari ini, Malang begitu cerah. Anginnya begitu membuai, namun sinar
UV tetap terasa sangat mencubit punggung tanganku. Kuputuskan berhenti sejenak,
saat melihat penjual es dawet yang bernaung di bawah halte.
“Panas
nih, Lis. Aku mau beli dawet, kamu mau?”
“Boleh
deh, kamu ngerti aja aku gerah.”
“Pak,
es dawet 2 nggih.”
“Siap
bosku, tunggu sebentar ya.”
Tak
lama berselang, 2 mangkuk es dawet selesai diracik. Sambil duduk di halte, kami
menikmati kesegarannya.
“Ternyata
kamu aktif juga ya di KMK.”
“Ah,
enggak juga, Tis. Kebetulan aku dipercaya jadi bendahara. Kamu sendiri, apa ya
nggak aktif? Wong kamu dipilih buat
ikut koor gitu.”
“Aku,
em, cuma dipasrahi tanggung jawab program kerja pelayanan liturgis.”
“Termasuk
koor?”
“Lebih
dari itu. Koor, tata laksana, lektor-lektris, pemazmur.”
“Hebat
juga kamu, dikasih kepercayaan kayak gitu.”
“Udah,
habisin esnya, keburu kamu telat. Esku udah abis loh.”
“Iya-iya,
ini tinggal sesendok lagi kok.”
Perjalanan
masih berlanjut. Masih tersisa 3,2 kilometer lagi, menerjang sejuk dan sengat
yang berpadu menghampiri Malang. Setelah 10 menit, perjalanan ini harus
berakhir.
“Makasih
banyak, Tis. Mungkin aku bisa terlambat kalau nggak kamu tawarin tebengan. Maaf
banget ya, jadi ngerepotin kamu.”
“Ah,
enggak ngerepotin kok. Aku udah biasa anter jemput orang.”
“Udah
kayak ojek ya. Yaudah, aku masuk dulu ya. See
you next time!”
Lisa
meninggalkanku di tepi jalan, sambil melempar senyuman manisnya. Entah, bibirku
tak mampu bergerak, dan aku hanya dapat melambaikan jemari lentikku padanya.
Good job! Bagus bagus👍 udah cocok jd penulis nih😁
BalasHapusJadi penulis? Masih jauh deh kayaknya. Masih banyak mimpi yang belum nyata, jangan mancing aku buat nambah list mimpiku ya 😑
Hapus