Minggu, 21 Januari 2018

Warm Voice, Cold Heart - Bagian Ketiga

Aku masih berada di depan gerbang Universitas Kota Lama. Rasanya malas untuk beranjak, hingga aku memutuskan untuk on bid. Sambil menunggu order, aku memilih memasangkan earphone ke telingaku, mendengarkan lagu secara shuffle dari ponselku. Lalu terputar sebuah lagu berjudul Wanita, yang dinyanyikan oleh Afgan. OST film Soekarno. Kupikir, syahdu juga. Berteduh di bawah pohon, dan secara tidak sengaja ditemani lagu ini. 

Tepat setelah lagu selesai, ponselku berdering, pertanda ada order masuk. Setelah kulihat, lokasi penjemputan di gerbang Universitas Kota Lama.
Membaca nama pemesan, Murdiyanto. Sepertinya beliau sudah berusia sebaya dengan kedua orang tuaku. Segera saja kukirimkan pesan singkat "Tunggu di gerbang Pak, saya datang 1 menit lagi."

Tebakanku tak salah. Seorang lelaki berusia mendekati 50 tahun, berpakaian rapi dengan setelan kemeja berwarna biru muda dan celana hitam.

"Selamat siang, Bapak Murdiyanto ya? Saya Titis, yang ambil orderan dari Bapak. Ini helmnya Pak, monggo dipakai."

"Iya betul,  makasih, Mas."

"Hari Minggu di kampus, njenengan ngapain, Pak?"

"Habis nemuin mahasiswa konsul skripsi, Mas."

"Oalah, njenengan dosen?"

"Iya, di Psikologi. Deket dari gerbang."

"Kok nggak naik kendaraan pribadi aja, Pak?"

"Mobil saya lagi diservis, motor dibawa istri arisan."

"Uang arisannya diminta aja Pak, buat servis mobil sama bayar ongkos ngojek."

"Hahahaha, sudah tak siapin semua kok Mas. Masnya tak bayar lebih kok nanti."

Kupikir-pikir, beliau asik juga diajak bicara untuk ukuran pribadi seusianya. Dosen pula. Andai semua dosenku begini juga.

"Kayaknya bahagia banget jadi tukang ojek, Mas. Bayarannya banyak? Atau Masnya habis nganter cewek nih?"

"Jadi tukang ojek sih biar ada yang dipakai jajan sama ditabung aja Pak. Emang saya kelihatan bahagia banget ya Pak?"

"Bercandanya kelihatan lepas banget. Jangan-jangan Mas habis antar mahasiswi kampus saya ya?"

"Duh ampun Pak ampun, iya saya habis nganter mahasiswi kampus Bapak tadi, sekalian pulang dari Gereja."

"Kelihatan kok Mas. Jangan kelewatan senengnya, Mas. Nanti kalo dia nyakitin Mas, bisa repot. Mahasiswa saya banyak yang kayak gitu gara-gara naksir sama cewek, sampai skripsinya molor."

Seketika teringat Lisa, penumpangku sebelum Pak Murdiyanto. Apakah harapanku padanya terlalu tinggi? Ah, bodo amat! Kalau belum melangkah terus, aku tak akan tahu seperti apa ujungnya nanti.

"Hahaha iya Pak, siap!"

"Berhenti di depan rumah pagar biru, Mas. Itu rumah saya."

"Siap, sudah sampai ya, Pak. Ongkosnya 8 ribu."

"Ini ongkosnya, kembaliannya ambil aja buat beliin doi-nya coklat. Sama ini, ada bakpia dari temen saya yang habis pergi ke Jogja. Bawa 1 kotak ya Mas. Jangan ditolak Mas, saya lagi pengen berbagi rejeki. Di rumah lagi kebanyakan makanan, kuatir nanti nggak kemakan."

Kuterima lembaran hijau dan sekotak bakpia dari Jogja. Puji Tuhan, terima 1 order saja sudah cukup untuk makan siangku hari ini.

"Terima kasih banyak, Pak! Semoga istrinya dapat arisan, hahaha. Saya duluan Pak, mau cari order lagi. Jangan lupa bintang 5-nya, Pak!"

"Monggo, Mas. Siap, pasti bintang 5 lah."

Setelah beranjak pergi, niatku untuk mencari penumpang mendadak sirna. Aku memutuskan kembali ke kosan, dan bersandar pada kursi plastikku. Teringat secarik kalimat dari Pak Murdiyanto. Kembali teringat Lisa. Ah, mengapa aku tak mampu melupakan senyumannya?

Kuraih ponselku, dan kubuatnya kembali memainkan lagu secara acak. Ponselku menjatuhkan pilihannya untuk berkhayal. Dimulailah sebuah lagu, Khayalan Tingkat Tinggi dari Peterpan.

"Khayalan ini setinggi-tingginya"

"Yang kunanti saat memegang tangannya, sampai nanti tetap memegang tangannya."

Meragu. Kalut. Kelabu.
Baru saja aku mengenalnya. Tak lama, 2 hari.
Cinta? Impresi? Ilusi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Monggo dikomentari, gunakan bahasa yang sopan ya ! :)